Rabu, 22 Januari 2014

ABDULLAH BIN ABBAS KYAI UMMAT INI

Ibnu Abbas serupa dengan Ibnu Zubeir bahwa mereka sama-sama menemui Rasulullah dan bergaul dengannya selagi masih kecil, dan Rasulullah wafat sebelum Ibnu Abbas mencapai usia dewasa. Tetapi ia seorang lain yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasulullah saw. yang mengutamakan dan mendidiknya serta mengajarinya hikmat yang murni. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul ….
la adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Digelari “habar” atau kyai atau lengkap­nya “kyai ummat”, suatu gelar yang hanya dapat dicapainya karena otaknya yang cerdas, hatinya yang mulia dan pengetahu­annya yang luas.
Dari kecilnya, Ibnu Abbbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendoakannya:
“Ya Allah, berilah ia ilmu Agama yang mendalam dan ajar­kanlah kepadanya ta’wil”.
Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan di mana Rasulullah mengulang-ulang du’a tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu . . . , dan ketika itu ia mengertilah bahwa. ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan. Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini. Karena walaupun di saat Rasulullah saw. wafat itu, usianya belum lagi lebih dari tiga belas tahun, tetapi sedari kecilnya tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majlis Rasulullah dan menghafalkan apa yang di­ucapkannya . . . .
Dan setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul Ala, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari shahabat-shahabat Rasul yang pertama, apa-apa yang luput didengar dan dipelajari­nya dari Rasulullah saw. sendiri. Suatu tanda tanya (ingin me­ngetahui dan ingin sertanya) terpatri dalam dirinya.
Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatu ilmu atau menghafalkan Hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer lagi tidak mau puas itu, mendorongnya untuk meneliti apa yang didengarnya. Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap mengum­pulkan ilmu pengetahuan semata, tapi juga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.
Pernah ia menceritakan pengalamannya:  ”Pernah aku sertanya kepada tiga puluh orang shahabat Rasul saw. mengenai satu masalah”. Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkannya kepada kita sebagai berikut:
“Tatkala Rasulullah saw. wafat, kukatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: “Marilah kita sertanya kepada shahabat Rasulullah, sekarang ini mereka hampir semuanya sedang bekumpul.?”
Jawab pemuda Anshar itu:
“Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagai kau lihat banyak terdapat shahabat Rasul­ullah . . . !’ Demikianlah ia tak mau diajak, tetapi aku tetap pergi sertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah.
Pernah aku mendapatkan satu Hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya kebetulan ia sedang tidur Siang. Ku­bentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, Sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia bangun dan keluar menemuiku. Maka katanya: “Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepada­mu?” “Tidak!” ujarku, “bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda! Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah Hadits dan aku belajar daripadanya … !”
Demikianlah pemuda kita yang agung ini sertanya, kemudian sertanya dan sertanya lagi, lalu dicarinya jawaban dengan teliti, dan dikajinya dengan seksama dan dianalisanya dengan fikiran yang berlian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh, hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang­orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab r.a. menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting dan menggelarkannya “pemuda tua” . . . !
Pada suatu hari ditanyakan orang, kepada Ibnu Abbas: “Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini … ?’
Jawabnya:
“Dengan lidah yang gemar sertanya, dari akal yang suka berfikir … ! “
Maka dengan lidahnya yang selalu sertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai “kyai ummat ini”.
Sa’ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat­kalimat seperti ini :‑
“Tai seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas … ! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!”
Ketika membicarakannya, Ubaidillah bin ‘Utbah berkata:
“Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah saw. daripada Ibnu Abbas … ! Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripada­nya . . . ! Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengerti­annya daripadanya . . . .
Sungguh, ia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari ….
Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir al-Quran, ilmu hisab dan soal pembagian pusaka daripadanya . .. ! Dan tidak seorang muslim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang sertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya … !”
seorang Muslim penduduk Bashrah melukiskannya pula sebagai berikut: — (Ibnu Abbas pernah menjadi gubernur di sana, diangkat oleh Ali) telah mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara …
1. Menarik hati pendengar apabila ia berbicara.
2. Memperhatikan setiap ucapan pembicara.
3. Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara.
1. Menjauhi sifat mengambil muka.
2. Menjauhi orang-orang yang rendah budi.
3. Menjauhi setiap perbuatan dosa.
Sebagaimana kita telah paparkan bahwa Ibnu Abbas adalah orang yang menguasai dan mendalami berbagai cabang ilmu. Maka ia pun menjadi pedoman bagi orang-orang yang mencari ilmu, berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan.
Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa. Alasan yang dikemukakannya bagaikan cahaya matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman …. Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawan­nya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakan­nya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena manis­nya susunan kata dan keahliannya berbicara … !
Dan bagaimana pun juga banyaknya ilmu dan tepatnya alasan tetapi diskusi atau tukar fikiran itu . .. ! Baginya tidak lain hanyalah sebagai suatu alat yang paling ampuh untuk mendapat­kan dan mengetahui kebenaran . . . !
Dan memang, telah lama ia ditakuti oleh Kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam! Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cuplikan di bawah ini:
Tanya Ibnu Abbas:  ”Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali … ?”
Ujar mereka:
“Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya:  Pertama dalam Agama Allah ia sertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: “Tak ada hukum kecuali bagi Allah . . . !) kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haram­lah darahnya . .  !’)
Dan ketiga, waktu sertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang Mu’min lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir . . . !”
Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya:  ”Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia sertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya … ?
Bukankah Allah telah berfirman:
“Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan, sewaktu kalian dalam ihrarn! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk tnenetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakimnya . . . !”
(Q.S. 5 al-Maidah: 95)
Nah, atas nama Allah cobalah jawab: “Manakah yang lebih penting, sertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah sertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham … ?”
Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian “kyai ummat ini” melanjutkan bantahannya:
“Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah dan Ummul Mu’minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan . . . ?’
Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu, lalu menutupi muka mereka dengan tangan …. sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya:
“Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penulis: “Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah . . . “. Tiba-tiba utusan Quraisy menyela: “Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu … ! Maka tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah . . . !” Kata Rasulullah kepada mereka: “Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya … !” Lalu kepada penulis, surat perjanjian itu diperintahkannya: “Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah … !11
Demikianlah, dengan cara yang menarik dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar fikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari me­musuhi Imam Ali … !
Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi di samping itu ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu Serta akhlaq para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat pemurahnya, la bagaikan Imam dengan panji-panjinya. Dilimpah-ruahkannya harta bendanya kepada manusia, persis sebagaimana ia melimpah­ruahkan ilmunya kepada mereka. . . .
Orang-orang yang bersama dengannya, pernah menceritakan dirinya sebagai berikut:  ”‘Iidak sebuah rumah pun kita temui yang lebih banyak makanan, minuman buah-buahan, begitupun ilmu pengetahuannya dari rumah Ibnu Abbas … !”
Di samping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga. Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang, ialah harapan­nya agar setiap orang, baik yang dikenalnya atau tidak, beroleh kebaikan … !
Katanya mengenai dirinya:
“Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitahullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui itu . . . ! Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutus sesuatu pekara dengan adil, maka aku merasa gembira dan turut mendoakannya . . . ,padahal tak ada hubungan perkara antara aku dengannya . . . ! Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi Muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekor pun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut . . . !”
la seorang ahli ibadah yang tekun beribadat dan rajin sertaubat . . . , Sering bangun di tengah malam dan shaum di waktu Siang, dan seolah-olah kedua matanya telah hafal akan jalan yang dilalui oleh air matanya di kedua pipinya, karena seringnya ia menangis, baik di kala ia shalat maupun sewaktu membaca al-Quran …. Dan ketika ia membaca ayat-ayat al-Quran yang memuat berita duka atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, maka isaknya sertambah keras dan sedu sedannya menjadi-jadi … !
Di samping semua itu, ia juga seorang yang berani, berfikiran sehat dan teguh memegang amanat . . . ! Dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah,  ia mempunyai beberapa pendapat yang menunjukkan tingginya keeerdasan dan banyak­nya akal Serta siasatnya . . . . la lebih mementingkan perdamaian dari peperangan, lebih banyak berusaha dengan jalan lemah lembut daripada kekerasan, dan menggunakan fikiran daripada paksaan . . . !
Tatkala Husein r.a. bermaksud hendak pergi ke Irak untuk memerangi Ziad dan Yazid, Ibnu Abbas menasehati Husein, memegang tangannya dan berusaha sekuat daya untuk meng­halanginya. Dan tatkala ia mendengar kematiannya, ia amat terpukul, dan tidak keluar-keluar rumah karena amat dukanya.
Dan di setiap pertentangan yang timbul antara Muslim dengan Muslim tak ada yang dilakukan oleh Ibnu Abbas, selain mengacungkan bendera perdamaian, berlunak lembut dan me­lenyapkan kesalah-pahaman ….
Benar ia ikut terjun dalam peperangan di pihak Imam Ali terhadap Mu’awiyah, tetapi hal itu dilakukannya, tiada lain hanyalah sebagai tamparan keras yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan Agama dan kesatuan ummat … !
Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, dipenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmat, dan disebarkan di antara ummat buah nasehat dan ketaqwaannya . . . . Dan pada usianya yang ketujuh ­puluh satu tahun, ia terpanggil untuk menemui Tuhannya Yang Maka Agung . . . . Maka kota Thaif pun menyaksikan perarakan besar, di mana seorang Mu’min diiringkan menuju surganya.
Dan tatkala tubuh kasarnya mendapatkan tempat yang aman dalam kuburnya, angkasa bagai berguncang disebabkan gema janji Allah yang haq:
“Wahai jiwa yang aman tenceram! Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Maka masuklah ke dalam lingkungan hamba-Ku. Dan masuklah ke dalatn surga-Ku . . . !”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar